Dalam beberapa forum, banyak orang yang menanyakan ke saya seputar modal prinsip untuk berprestasi di dunia kerja yang makin ketat dengan persaingan seperti sekarang ini. Apakah cukup dengan nilai ijazah yang tinggi dan sertifikat kursus? Tentunya tidak. Dunia kerja sekarang dan ke depan adalah dunia "intrapreneurship" , yakni mental inovasi kewirausahaan (entrepreneurship) untuk mengembangkan perusahaan. Orang-orang yang berhasil di dunia kerja bukanlah yang sekedar disiplin jam kerja melainkan memiliki beberapa keunggulan lain, misalnya mampu mengakses peluang, punya mental pantang menyerah dan sebagainya.
Untuk “menyederhanakan” penjelasan, saya kerap menggunakan istilah 3 K. Berikut uraiannya.
K Ketiga adalah Komunikasi
Komunikasi di sini adalah berbagai aktivitas yang kita lakukan untuk menjalin interaksi atau relasi dengan orang lain. Biarpun keahlian kita bagus, kesalehan kita bagus, namun kalau jaringan kita sempit, apa mungkin emploibilitas kita meningkat ? Berbagai studi membuktikan, kemajuan karir seseorang itu sangat erat dengan kemampuannya dalam menjalin interaksi, relasi, atau sinergi. Di negara yang sudah se-high-tech seperti Amerika saja, sebagian besar pekerja mendapatkan peluangnya dari manusia (relasi, interaksi, referensi), bukan dari media atau tehnologi.
Hemat saya, ke-3K di atas adalah salah satu cara yang bisa kita tempuh untuk meningkatkan emploibilitas. Apa itu emploibilitas? Kalau dilihat di beberapa kajian pengembangan karir, emploibilitas adalah kemampuan seseorang untuk mengakses berbagai peluang emploimen yang terus bertambah dan menawarkan pilihan yang tak terbatas. Kita beranggapan ini penting atau tidak, tetapi bagi kemajuan karir kita tetaplah penting.
Kenapa? Pada prakteknya, kemajuan karir seseorang itu tidak ditentukan oleh peluang emploimen semata, namun oleh kemampuannya dalam mengakses peluang itu. Peluang yang berlimpah tidak otomatik menghasilkam kemakmuran berlimpah apabila kemampuannya krisis. Bahkan kata para motivator, peluang itu tidak pernah krisis. Yang selalu mengalami krisis adalah ide dan kemampuan.
Alasan lainnya terkait dengan tren emploimen ke depan. Menurut catatan Phillip S. Jarvis (2002), ke depan akan muncul sejumlah paradigma kerja yang menggantikan paradigma lama. Paradigma kerja ini saya sebut sebagai paradigma Intrapreneurship Garis besarnya dijelaskan seperti di bawah ini:
1. Definisi pekerjaan. Ke depan, pekerjaan seseorang itu akan didefinisikan berdasarkan skill dan value yang dimiliki, bukan didasarkan pada kedudukan, jabatan atau kategori.
2. Lokasi / Tempat Kerja. Ke depan, orang tidak mutlak membutuhkan ”kantor fisik” untuk menjalankan pekerjaan / profesinya. Virtual space akan menjadi tren juga.
3. Tolak Ukur Kesuksesan Karir. Sementara ini, tolak ukur yang kerap dipakai adalah kenaikan jabatan. Ke depan, tolak ukur yang akan jadi tren adalah kenaikan skill atau value yang kita miliki. Kenaikan jabatan tidak menjadi ukuran mutlak kesuksesan karir seseorang.
4. Kontrak & Fee. Ke depan, tren yang akan muncul adalah sistem emploimen yang didasarkan pada kontrak, kesepakatan dan pembayaran fee, bukan semata-mata harus ada gaji bulanan, bonus bulanan, atau menjadi karyawan tetap dengan jam masuk-keluar yang tetap.
5. Orientasi Kerja. Ke depan, tren yang akan muncul adalah personal freedom and control (career security). Sementara ini, trennya memang adalah kebergantungan yang terlalu besar pada pekerjaan atau perusahaan.
6. Loyalitas. Ke depan, tren yang akan muncul adalah loyalitas pada profesi atau pekerjaan, bukan pada perusahaan, kantor atau organisasi
7. Identitas. Ke depan, identitas seseorang itu akan terkait dengan kontribusi yang sanggup diberikan pada pekerjaan / profesi, keluarga, masyarakat, klien atau pelanggan. Sementara ini, identitas itu terkait dengan kontribusi seseorang pada job, posisi, okupasi, atasan, atau bos.
8. Hubungan Kerja. Yang akan jadi tren juga adalah hubungan kerja itu bisa berbentuk tim, mitra usaha atau vendor. Sementara ini, yang banyak jadi tren adalah hubungan dalam bentuk atasan-bawahan atau pimpinan-karyawan.
Kalau kita perhatikan, sebagian tren yang ditulis di atas sudah terjadi di kita. Banyak perusahaan yang sudah menerapkan sistem kontrak. Banyak orang yang hanya terikat oleh hubungan agreement dengan perusahaan, bukan employment. Banyak yang sudah menulis posisi atau peranan di kartu namanya dengan istilah yang belum pernah ada dikodifikasi jabatan nasional. Banyak yang berkantor tanpa gedung. ***
Dikutip dari buku Interpersonal Skill karya Ubaydillah Anwar dengan beberapa modifikasi.
Editor : Bambang Suharno
Ubaydillah Anwar, Human Learning Specialist
Untuk “menyederhanakan” penjelasan, saya kerap menggunakan istilah 3 K. Berikut uraiannya.
K Pertama adalah Keahlian.
Keahlian di sini maksudnya adalah kemampuan kita dalam menerapkan pengetahuan, menggunakan informasi, dan pengalaman dalam bekerja dan terbukti bisa memperbaiki kinerja. Kalau kita hanya tahu, itu belum ahli. Kalau kita hanya pernah mengalami, itu juga belum ahli. Keahlian yang perlu kita tingkatkan adalah keahlian mental (mental skill) dan keahlian kerja (job skill). Orang-orang yang memiliki emploibilitas tinggi itu selalu memiliki dua hal kembar, yaitu will power (kemauan, komitmen, dll) yang kuat dan skill power (keahlian, pengetahuan, pengalaman, dst) yang bagus.K Kedua adalah Kesalehan
Kesalehan di sini adalah akhlak moral yang didasarkan pada nilai-nilai kebenaran. Jika keahlian berfungsi untuk meningkatkan emploibilitas, maka kesalehan berfungsi untuk menjaga langkah kita supaya tetap aman. Jika kita hanya ahli, karir kita memang naik, namun rawan jatuh. Sebaliknya, jika akhlak moral kita saja yang bagus, karir kita hanya aman, namun tidak naik. Supaya naik dan aman, perlu keahlian dan kesalehan.K Ketiga adalah Komunikasi
Komunikasi di sini adalah berbagai aktivitas yang kita lakukan untuk menjalin interaksi atau relasi dengan orang lain. Biarpun keahlian kita bagus, kesalehan kita bagus, namun kalau jaringan kita sempit, apa mungkin emploibilitas kita meningkat ? Berbagai studi membuktikan, kemajuan karir seseorang itu sangat erat dengan kemampuannya dalam menjalin interaksi, relasi, atau sinergi. Di negara yang sudah se-high-tech seperti Amerika saja, sebagian besar pekerja mendapatkan peluangnya dari manusia (relasi, interaksi, referensi), bukan dari media atau tehnologi.
Hemat saya, ke-3K di atas adalah salah satu cara yang bisa kita tempuh untuk meningkatkan emploibilitas. Apa itu emploibilitas? Kalau dilihat di beberapa kajian pengembangan karir, emploibilitas adalah kemampuan seseorang untuk mengakses berbagai peluang emploimen yang terus bertambah dan menawarkan pilihan yang tak terbatas. Kita beranggapan ini penting atau tidak, tetapi bagi kemajuan karir kita tetaplah penting.
Kenapa? Pada prakteknya, kemajuan karir seseorang itu tidak ditentukan oleh peluang emploimen semata, namun oleh kemampuannya dalam mengakses peluang itu. Peluang yang berlimpah tidak otomatik menghasilkam kemakmuran berlimpah apabila kemampuannya krisis. Bahkan kata para motivator, peluang itu tidak pernah krisis. Yang selalu mengalami krisis adalah ide dan kemampuan.
Alasan lainnya terkait dengan tren emploimen ke depan. Menurut catatan Phillip S. Jarvis (2002), ke depan akan muncul sejumlah paradigma kerja yang menggantikan paradigma lama. Paradigma kerja ini saya sebut sebagai paradigma Intrapreneurship Garis besarnya dijelaskan seperti di bawah ini:
1. Definisi pekerjaan. Ke depan, pekerjaan seseorang itu akan didefinisikan berdasarkan skill dan value yang dimiliki, bukan didasarkan pada kedudukan, jabatan atau kategori.
2. Lokasi / Tempat Kerja. Ke depan, orang tidak mutlak membutuhkan ”kantor fisik” untuk menjalankan pekerjaan / profesinya. Virtual space akan menjadi tren juga.
3. Tolak Ukur Kesuksesan Karir. Sementara ini, tolak ukur yang kerap dipakai adalah kenaikan jabatan. Ke depan, tolak ukur yang akan jadi tren adalah kenaikan skill atau value yang kita miliki. Kenaikan jabatan tidak menjadi ukuran mutlak kesuksesan karir seseorang.
4. Kontrak & Fee. Ke depan, tren yang akan muncul adalah sistem emploimen yang didasarkan pada kontrak, kesepakatan dan pembayaran fee, bukan semata-mata harus ada gaji bulanan, bonus bulanan, atau menjadi karyawan tetap dengan jam masuk-keluar yang tetap.
5. Orientasi Kerja. Ke depan, tren yang akan muncul adalah personal freedom and control (career security). Sementara ini, trennya memang adalah kebergantungan yang terlalu besar pada pekerjaan atau perusahaan.
6. Loyalitas. Ke depan, tren yang akan muncul adalah loyalitas pada profesi atau pekerjaan, bukan pada perusahaan, kantor atau organisasi
7. Identitas. Ke depan, identitas seseorang itu akan terkait dengan kontribusi yang sanggup diberikan pada pekerjaan / profesi, keluarga, masyarakat, klien atau pelanggan. Sementara ini, identitas itu terkait dengan kontribusi seseorang pada job, posisi, okupasi, atasan, atau bos.
8. Hubungan Kerja. Yang akan jadi tren juga adalah hubungan kerja itu bisa berbentuk tim, mitra usaha atau vendor. Sementara ini, yang banyak jadi tren adalah hubungan dalam bentuk atasan-bawahan atau pimpinan-karyawan.
Kalau kita perhatikan, sebagian tren yang ditulis di atas sudah terjadi di kita. Banyak perusahaan yang sudah menerapkan sistem kontrak. Banyak orang yang hanya terikat oleh hubungan agreement dengan perusahaan, bukan employment. Banyak yang sudah menulis posisi atau peranan di kartu namanya dengan istilah yang belum pernah ada dikodifikasi jabatan nasional. Banyak yang berkantor tanpa gedung. ***
Dikutip dari buku Interpersonal Skill karya Ubaydillah Anwar dengan beberapa modifikasi.
Editor : Bambang Suharno
Ubaydillah Anwar, Human Learning Specialist