Bersama delegasi
Indonesia, beberapa tahun lalu saya berkesempatan untuk untuk berkunjung ke Kota
Atlanta, Georgia, Amerika Serikat, untuk mengikuti seminar dan melihat sebuah
pameran bisnis perunggasan terbesar di dunia, International Poultry Expo (IPE). Lokasi pameran sangat strategis, yakni di Georgia Convention Center. Tidak jauh dari sana, ada kantor pusat
studio televisi CNN dan kantor pusat perusahaan
minuman ringan terbesar di dunia, Coca Cola.
Di pameran perunggasan, saya melihat
bagaimana canggihnya teknologi diterapkan dalam pengembangan bisnis ayam, mulai
dari kandang otomatis, sistem pemeliharaan yang terintegrasi dari pembuatan
pakan ayam, pemberian pakan dan minum otomatis, teknologi menangkap ayam,
memotong ayam hingga pengolahan daging dan telur ayam. Saya juga menyempatkan
diri berkunjung ke pemotongan ayam modern yang berlabel halal dengan standar
Majelis Ulama setempat. Saya tidak terlalu kaget dengan teknologi tersebut
karena saya tahu, sebagian dari teknologi tersebut ada yang sudah diterapkan di
perusahaan-perusahaan pembibitan unggas (breeding
farm) dan pabrik pakan modern di Indonesia seperti Japfa Comfeed, Charoen
Pokpand Indonesia, Sierad Produce dan sebagainya.
Namun di luar semua itu tak kalah menariknya
adalah kantor pusat Coca-cola yang berada di seberang lokasi pameran. Perusahaan
Coca Cola didirikan tahun 1944 oleh Asa Griggs Candler
yang semula pemilik sebuah toko kimia. Pada awalnya ia menjual minuman coca
cola dalam sebuah kedai minuman semacam warkop di negeri kita. Para penggemar
coca cola dimanapun, bila ingin menikmati minuman coca cola harus datang ke
kedai, cukup dengan mengeluarkan kocek 5 sen dolar. Ramuannya adalah coke dicampur soda, yang membuat tubuh terasa segar.
Dikisahkan, pada
suatu hari seorang teman Candler datang ke kantornya dan menawarkan sebuah
rahasia penting yang dapat membuat coca cola menyebar ke seantero dunia. Untuk
mengungkap rahasia tersebut, teman Candler meminta bayaran yang tidak kecil
untuk ukuran dia saat itu.
Setelah berdiskusi
cukup alot, Candler bersedia menandatangi cek pembayaran atas informasi dari
sang kawan tadi.
Dengan gembira,
sang kawan menerima cek tersebut. Kemudian ia mendekatkan wajahnya ke telinga
Candler membisikkan dua kata yang dikemudian hari merubah perusahaan Coca cola
yang semula perusahaan lokal menjadi perusahaan yang mendunia.
Dua kata tersebut
adalah, ”Botolkan saja!”.
”Ya, botolkan saja.
Hanya itu!”kata teman Candler. Kepalang sudah mengeluarkan banyak uang, Candler menuruti apa yang disarankan kawannya
tadi. Selanjutnya anda tahu sendiri bagaimana suksesnya minuman ini di berbagai
belahan bumi.
Dengan sistem
penjualan model warkop pertumbuhan Coca cola hanya berputar di wilayah Atlanta dan sekitarnya. Untuk merambah ke kota lain, dibutuhkan
survey kelayakan usaha. Setelah minuman ini disajikan dalam botol, konsumen
dimanapun di dunia bisa menikmati Coca cola, tanpa harus datang ke kantin atau
warung makan. Ambil botol, langsung nikmati!
Sudah barang tentu,
proses merubah sajian Coca cola dari bentuk ramuan menjadi bentuk botol
tidaklah sesederhana cerita tadi. Di balik kisah sukses itu pasti ada tantangan,
bagaimana merubah pola manajemen yang semula manajemen kedai menjadi manajemen
pabrik.
Proses ini kata
Burke Hadges dalam buku Copycat Marketing disebut sebagai efisiensi yang sebenar-benarnya. Padanan dari kata efisiensi adalah leverage yang berasal dari Bahasa
Perancis yang artinya menjadikan lebih ringan. Perubahan penjualan Coca cola
dari kedai menjadi bentuk botol adalah sebuah efisiensi. Pengembangan Coca cola
menjadi jauh lebih ringan dengan model pembotolan, dibanding dengan membangun
kedai di berbagai penjuru.
Entrepreneurship dan Technopreneurship
Dalam perspektif entrepreneurship, perubahan di atas
bukan sekedar efisiensi. Saya memandang inilah salah satu langkah yang disebut
sebagai Technopreneurship yang hebat.
Rekan saya Dr Ono
Suparno pakar dari IPB membedakan entrepreneurship biasa dan technopreneurship
(technology entrepreneurship) dengan cara yang mudah
dipahami. Technology entrepreneurship (technopreneurship
) harus sukses pada dua tugas utama, yakni menjamin bahwa teknologi berfungsi
sesuai kebutuhan target pelanggan, dan teknologi tersebut dapat dijual dengan mendapatkan
keuntungan (profit). Entrepreneurship biasa umumnya hanya
berhubungan dengan bagian yang kedua, yakni menjual dengan mendapatkan profit.
Berdasarkan definisi di atas maka technopreneurship di suatu negara belum
tentu langsung bisa diaplikasikan di negeri lain. Sebagai contoh di AS seorang
peternak ayam bisa memelihara 5.000 ekor ayam dengan memanfaatkan tenaga
keluarga. Ini bisa dilakukan karena semuanya serba otomatis mulai dari kandang,
proses pemberian pakan dan minum otomatis hingga menangkap ayam untuk siap
dipotong. Mengapa mereka melakukan otomatisasi peternakan? Bukan karena ingin
terlihat keren, melainkan karena apabila menggunakan tenaga manusia, harga ayam
di sana akan sangat mahal, tak mampu bersaing dengan harga ayam Indonesia yang menggunakan
tenaga kerja yang lebih murah. Sebaliknya, jika otomatisasi peternakan ini
diterapkan 100% di negeri kita kemungkinan yang terjadi adalah, otomatisasi lebih
mahal dibanding dengan tenaga manual. Itu sebabnya teknologi peternakan ayam
yang dikembangkan di negeri kita adalah yang cocok dengan situasi Indonesia,
umpamanya teknologi Closed House
(kandang tertutup) semi otomatis yang tepat untuk wilayah tropis.
Kita melihat technopreneurship hampir selalu berkaitan dengan capital besar. Di
Indonesia ada kisah sukses Teh Botol Sosro dan Aqua, yang merupakan technopreneurship yang dalam proses
perkembangannya mewajibkan membangun pabrik dengan modal besar. Demikian halnya
yang terjadi di indutri pertanian dan peternakan.
Pertanyaannya, adakah penerapan technopreneurship yang tidak memerlukan
modal besar?
Jawabannya untuk saat ini; ada dan
banyak.
Technopreneur di
Era Informasi
Mari kita lihat perubahan dunia
berdasarkan cara manusia mencari nafkah. Di Era purbalaka, manusia mencari
dapat hidup dengan berburu. Di era ini, manusia yang sukses adalah yang
berhasil mendapat hasil buruan yang banyak dalam waktu singkat.
Era manusia berburu berhenti semenjak
manusia berkreasi bercocok tanam dan memelihara hewan. Manusia memasuki era
pertanian. Di era ini, manusia sukses adalah yang memiliki lahan luas dan subur
yang ditanami aneka tanaman produktif.
Selanjutnya memasuki abad 19-20 Manusia
memasuki era Industri. Di era ini, orang-orang yang dianggap sukses
mengembangkan ekonomi adalah yang memiliki industri. Kita melihat orang terkaya
di dunia adalah pemilik pertambangan minyak, pemilik pabrik baja dan
sebagainya. Pada umumnya orang-orang kaya melalui proses bertahun tahun
mengembangkan usahanya, sebagian adalah turunan orang kaya juga.
Kini, kita berada di abad 21 yang sering
disebut sebagai era informasi. Pada era ini teknlogi informasi berkembang
sangat cepat. Terjadi perubahan yang sangat mendasar.
Syarat menjadi sukses berbisnis semakin
“tanpa modal”. Tidak perlu lahan subur yang luas atau pabrik besar, namun bisa hanya bermodal laptop
dan sambungan internet. Jadi sekarang inilah yang bisa disebut sebagai era technopreneurship, dimana siapapun,
berlatarpendidikan apapun, dari bangsa manapun berhak untuk menjadi pengusaha
hebat dengan technopreneurship. Lihat
orang terkaya di dunia. Kini tidak perlu pemilik pabrik, pemilik tambang atau
pemilik lahan pertanian yang luas. Mereka adalah pencipta google, facebook dan
produk IT yang sangat inovatif.
Peluang mengembangkan technopreneurship melalui IT masih seluas
samudera. Money making model di era
ini masih terus berkembang. Semula media online mendapatkan iklan hanya
mentransformasikan sistem iklan media cetak menjadi online. Tarif iklan di
bayar per periode tayang sebagaimana media cetak. Sekarang cara-cara beriklan semakin
variatif lagi. Iklan di media online ada yang menggunakan sistem pay per click, pay per impression dan saya pastikan akan berkembang terus. Berkembang
pula jasa mengumpulkan data calon customer melalui games online, ebook gratis dan
sebagainya yang disusul dengan jasa email marketing. Belum lagi berkembang ilmu
SEO (Search Engine Optimation) untuk
memastikan sebuah halaman website berada di posisi halaman pertama mesin
pencari.
Di Indonesia, pertumbuhan pengguna
internet sangat luar biasa. Tahun 2011 lalu diperkirakan pengguna internet 55
juta dan diperkirakan tahun 2014 akan melonjak menjadi 150 juta. Indonesia juga
masuk dalam 5 besar pengguna facebook.
Tahun ini diperkirakan 48 juta akun facebook asal Indonesia. Mereka
adalah pasar yang besar bagi berbagai macam bisnis, baik barang maupun jasa.
Dan untuk meraih pasar tersebut, tidak
diwajibkan memiliki modal untuk membuat pabrik ataupun membeli lahan subur.
Selamat mencoba. ***
0 komentar: