Alkisah ada seorang eksekutif sebuah perusahaan rumahnya
bersebelahan dengan seorang karyawan level bawah di perusahaan yang sama. Keduanya pensiun dalam waktu yang hampir
bersamaan. Lima tahun setelah pensiun, dua rumah yang bersebelahan situasinya
berbalik.
Sebelum pensiun
rumah di eksekutif jauh lebih megah dibanding sebelahnya yang karyawan bawahan.
Sementara si bawahan menyadari bahwa kelak kalau pensiun pesangonnya tidak akan
cukup untuk membiayai hidup, maka ia berinisiatif melakukan kegiatan bisnis di
luar jam kantor, khususnya hari sabtu dan minggu. Yang dilakukannya sederhana,
mencoba membeli barang rongsokan dan dijualnya ke pengepul. Barang rongsokan
itu bisa dari pabrik bisa pula dari rumah. Pabrik tempatnya bekerja merasa
ditolong karena sering dipusingkan masalah barang bekas yang dijual nggak laku,
tapi kalau dibuang juga sulit.
Bisnis ini memang
tidak berjalan mulus. Maklum usahanya dikerjakan dalam waktu terbatas.
Untunglah sang istri dan anaknya sangat mendukungnya dan mau membantu
pekerjaannya. Bahkan sehingga di awal usahanya keluarga sepakat untuk berhemat demi ”masa depan”,
yaitu masa pensiun.
Nah, ketika masa
pensiun tiba, barulah ia memfokuskan usahanya agar lebih berkembang lagi. Namanya
makin dikenal oleh para pelaku bisnis barang bekas. Ia telah bertekad
menyisihkan sebagian penghasilannya untuk mengembangkan bisnisnya.
Alhasil 5 tahun
setelah pensiun ia sudah dapat merenovasi rumahnya dan membeli mobil untuk
operasional. Sesuatu yang justru sulit didapat ketika masih menjadi karyawan.
Sebaliknya,
mantan atasannya justru kondisi ekonominya makin surut. Di masa kerjanya
eksekutif ini merasa segala sesuatu akan berjalan dengan lancar dan baik-baik
saja. Ia merasa gampang menghadapi masa pensiun. Ia tidak mempersiapkan jauh hari. Yang ia lakukan
adalah pesangon yang jumlahnya cukup besar itu digunakan untuk membeli mobil
baru, karena mobil dinas harus dikembalikan, sementara mobil pribadi sudah tua
umurnya. Sisanya ia investasikan kepada seseorang yang menawarkan investasi
bagi hasil yang sangat menggiurkan, di atas 5% per bulan.
Rupa-rupanya
investasi itu justru investasi penipuan. Maka ludeslah dana investasi itu.
Berikutnya, karena kebutuhan anaknya yang kuliah, maka ia tidak sanggup
membiayai mobilnya, sehingga dengan berat hati akhirnya mobil dijual. Apalagi dia juga merasa semakin tua
dan tidak sanggup menyetir sendiri. Rumahnya terlihat kurang terurus. Warna
dindingnya makin kusam, dan ada kerusakan di beberapa bagian.
Ini bukan kisah
rekaan, benar-benar nyata. Saya tulis sebagai sebuah gambaran potret orang
pensiun di negeri kita. Asal anda tahu, di Indonesia, jumlah pensiuan
perusahaan terus bertambah sejak tahun 2000an. Hal ini terjadi karena ekonomi Indonesia mulai bertumbuh sejak tahun
1970an. Pada tahun-tahun itulah banyak perusahaan-perusahaan baru yang kini
menjadi pelaku ekonomi skala besar. Sebut saja misalkan Indocement, Indofood,
Holcim (eks Semen Nusantara), Garuda, Charoen Pokpand, Japfa dan sebagainya. Perusahaan-perusahaan tersebut berdiri
tahun 1970an dan 30 tahun kemudian yaitu tahun 2000an, generasi pertama
perusahaan tersebut memasuki usia pensiun.
Tahun 2000an
pulalah mereka melakukan alih generasi kepemimpinan.
Dengan situasi
seperti itu, maka banyak orang pensiun terkaget-kaget dengan masa pensiunannya.
Mereka adalah para karyawan yang mendedikasikan seluruh waktunya untuk
perusahaan. Rutinitas sehari-hari dinikmati hingga tanpa terasa mereka sudah
memasuki masa bekerja 30 tahun yang artinya harus segera pensiun dan
menyerahkan jabatannya ke orang muda.
Kebiasaan hidup
dengan fixed income plus dimanja
perusahaan dengan berbagai fasilitas justru membuat mereka sulit menyesuaikan diri
ketika memasuki dunia tanpa gaji.
Meskipun mereka sadar bahwa rejeki adalah kekuasaan Tuhan, faktanya mereka
sebagian sulit mensiasati agar rejeki di masa pensiun bisa membuat nyaman buat
keluarga. Dinamika penghasilan yang tidak menentu menjadi hantu yang sangat menakutkan.
Padahal sejatinya
siapapun kita rejekinya juga berfluktuasi, meskipun memiliki penghasilan tetap.
Itu sebabnya, dalam kegiatan inhouse
training persiapan pensiun, saya menyampaikan 3 mental utama yang harus
dimiliki calon pensiuan yang ingin ber wirausaha.
Pertama, mental
uang produktif. Bagi para karyawan yang siap pensiun 5-10 tahun lagi, cobalah
memikirkan agar sebagian penghasilan bisa dikeluarkan untuk menciptakan
penghasilan baru. Cobalah kurangi pengeluaran konsumtif, dan produktifkan uang
anda. Anda bisa mulai bikin rumah kontrakan, beli lahan pertanian produktif,
beli ternak untuk bagi hasil dengan petani, beli bisnis franchise dan sebagainya.
Kedua, mental
pemberdaya. Latihlah mental anda untuk mampu memberdayakan orang lain. Barang
siapa mampu memberdayakan orang lain maka akan mudah mendirikan usaha dan
mengembangkannya. Kita sering melihat, masalah utama bisnis bukanlah pada
persaingan, melainkan pada sulitnya mengendalikan karyawan. Oleh karena itu,
berlatihlah menjadi pemimpin yang baik.
Ketiga, mental
tangan di atas. Aplikasinya adalah perbanyak sedekah. Memperbanyak sedekah
dengan sikap yang ikhlas tidak akan membuat anda jatuh miskin. Bisnis bukanlah
hitungan matematika semata. Karena pebisnis bergantung rejekinya kepada Tuhan,
maka lakukanlah banyak hal yang membuat Tuhan tersenyum. Selain itu di setiap
pribadi yang mudah memberi, akan tercipta mental yang lebih kuat tatkala
menghadapi masalah penghasilan.
Dan, untuk
memperkuat tiga mental di atas, sebaiknya para calon pensiun mulai perbanyak
pergaulan dengan banyak pelaku bisnis. IES (Indonesian Entrepreneur Society) telah
berulang kali mendidik para calon pensiunan melalui seminar dan inhouse
training untuk menjadi entrepreneur di masa pensiun.
Saya meyakini,
jika dana pensiun dari berbagai perusahaan yang dalam setahun jumlahnya
trilunan rupiah itu dikelola secara produktif oleh para pensiunan, kelak para
pensiunan menjadi bagian dari manusia produktif yang ikut memajukan ekonomi masyarakat.
Buat anda
yang mau pensiun. Persiapkanlah sejak dini. Selamat menikmati pensiun yang produktif.****
Bambang Suharno
0 komentar: