Kita melihat,
di tahun 2014 lalu banyak diskusi mengenai MEA. Dan hampir semuanya menyatakan,
Indonesia belum siap bertarung di pasar bebas ASEAN.
Tahun lalu Ditjen
P2HP (Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan) Kementerian Kelautan dan
Perikanan mengadakan Workshop dan Focus
Group Discussion (FGD) tentang Kesiapan Sektor Kelautan dan Perikanan dalam
menghadapi ASEAN Economic Community (AEC)
2015. Ini merupakan langkah untuk mengkonsolidasikan kesiapan para pelaku usaha
bidang perikanan dan dalam rangka mensinergikan program dan kegiatan sektor
Kelautan dan Perikanan. Melalui forum ini Ditjen P2HP menjaring masukan dari seluruh
pemangku kepentingan, antara lain KADIN, eksportir, akademisi, Kementerian
terkait, LSM, Asosiasi Perikanan, Pemerintah Daerah dan unit-unit lingkup
Kelautan dan Perikanan, untuk bersama-sama menyusun langkah untuk menghadapi
AEC 2015. Saut P. Hutagalung mengemukakan, pemerintah tengah menyiapkan beberapa rencana terkait akan diberlakukannya MEA. “Yang terpenting dan utama untuk perbaikan di sektor perikanan adalah efisiensi di sektor hulu dan pemangkasan biaya logistik, “ ujarnya. Selain itu hal-hal lain yang harus diperhatikan adalah penerapan standar produk perikanan dengan SNI, infrastruktur, dan pengembangan SDM kelautan dan perikanan.
Pembentukan kawasan perdagangan bebas ASEAN dilakukan dengan menghilangkan hambatan perdagangan baik hambatan tarif maupun hambatan non tarif bagi negara-negara anggota ASEAN melalui skema Common Effective Preferential Tariffs for ASEAN Free Trade Area (CEPT AFTA) yang saat ini telah diubah menjadi skema ASEAN Trade in Goods Agreement (ATIGA). Dalam skema CEPT ini, tingkat tarif bea masuk diturunkan sampai dengan 0 – 5% secara bertahap sejak tahun 2002 serta hambatan kuantitatif dan hambatan non-tarif lainnya untuk di-eliminasi. Sampai saat ini lebih dari 99% produk yang tercakup dalam ASEAN mempunyai tarif berkisar 0 – 5% termasuk produk-produk perikanan.
Sektor-sektor prioritas dalam rangka menuju Masyarakat Ekonomi ASEAN juga telah disepakati dan ditetapkan. Pada ASEAN Summit ke-9 tahun 2003, telah ditetapkan 11 Priority Integration Sectors (PIS) yang dalam perkembangannya, pada tahun 2006, menjadi 12 PIS yang terdiri atas 7 sektor barang dan 5 sektor jasa, yaitu: produk-produk pertanian, otomotif, elektronik, perikanan, produk-produk turunan dari karet, tekstil dan pakaian, produk-produk turunan dari kayu, transportasi udara, e-ASEAN (ITC), kesehatan, pariwisata, dan jasa logistik
Keberadaan MEA 2015 tidak hanya akan membawa peluang dan pemanfaatan tetapi juga permasalahan, hambatan dan tantangan bagi Indonesia di bidang ekonomi dan non ekonomi termasuk untuk sektor kelautan dan perikanan.
Namun apapun
tantangannya, Indonesia mau tidak mau, suka tidak suka, harus menjalankan
kesepakatan yang telah dibuat. Ada dua hal penting yang layak diperhatikan
terkait berlakunya MEA, yaitu sinergi pelaku usaha antar negara ke kawasan
ASEAN dan persaingan di antara negara ASEAN.
Dengan
melakukan sinergi di antara negara ASEAN, maka ASEAN akan menjadi pusat
produksi untuk memasok barang ke negara di berbagai belahan dunia lainnya.
Sementara itu, ASEAN sendiri merupakan pasar yang besar, melebihi setengah
miliar penduduk, dan penduduk Indonesia yang mencapai 250 juta adalah pasar
yang menggiurkan bagi pelaku usaha di negara tetangga. Ini berarti
negara-negara ASEAN mengincar pasar empuk, yakni masyarakat Indonesia yang
pendapatannya terus bertumbuh.
MEA, haruslah dijalankan untuk memperkuat ekonomi Indonesia, bukan sebaliknya. Itu sebabnya, harus ada strategi yang fokus, dan disepakati bersama dan dijalankan dengan sungguh-sungguh oleh semua stakeholder . Kita semua harusnya berpikir dan bertindak menyukseskan MEA untuk kepentingan nasional.***
(Artikel ini telah dimuat di majalah Info Akuakultur edisi Februari 2015)
Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.
BalasHapusYa MEA akan Menjadi Kabar Gembira Jika Kita Bisa Menguasa Online Marketing Pembicara Internet Marketing Jakarta
BalasHapus