Ada ungkapan lama yang mengatakan
begini: orang lemah dikalahkan oleh derita, orang biasa-biasa beradaptasi
dengan derita, orang luar biasa bertransformasi dari derita.
Kalau melihat di kamus, misalnya saja Combridge Dictionary, transformasi
berarti melakukan pengolahan optimal sehingga terjadi perubahan total, baik
dalam penampilan fisik atau karakter.
Dari padi dijadikah gabah, dari gabah
dijadikan beras, dari beras menjadi nasi. Ini semua adalah transformasi
alamiyah. Oleh tubuh kita, nasi itu ditransformasi menjadi gizi, nutrisi, dan
sisanya dibuang ke toilet/WC (transformasi physiologis).
Tanpa transformasi, misalnya kita
menelan gabah langsung, pastinya rusak organ kita. Begitu ada transformasi,
gabah itu menjadi gizi buat kita. Stress dan berbagai pengalaman buruk pun bisa
kita transformasikan seperti makanan, agar menjadi nutrisi atau gizi atau ada
yang perlu dibuang.
Kalau hanya dirasakan, itu sama
seperti orang menelan gabah. Bertransformasi berarti melakukan kapitalisasi
atau mengambil untung (benefit) dari kejadian yang kita rasakan buruk.
Sama-sama dijajah oleh Jepang dengan
akumulasi derita tak terkira, tapi respon bangsa kita berbeda dengan bangsa Korea
Selatan. Secara mayoritas, respon kita terbelah menjadi dua, antara viktimisasi
(selalu menyalahkan penjajah, blaming) dan adaptasi (masih bersyukur
dijajah hanya 3.5 tahun, tidak 150 tahun).
Bangsa Korsel secara mayoritas dan
terpimpin melakukan transformasi. Begitu merdeka, pada 15 Agustus 1945, seluruh
deritanya dan kebenciannya ditumpahkan ke loyang transformasi agar bisa
berkompetisi atau mengalahkan Jepang di bidang industri. Tentu butuh perjuangan
dan pengorbanan yang dahsyat: butuh uang, ilmu, tenaga, dan mental. Kini,
Korsel termasuk negara maju di bidang industri, sementara kita?
Kembali ke soal kapitalisasi stress, langkah
pertamanya adalah menguasai kesadaran untuk menjadikan stress sebagai energi
perubahan (energy for change). Tentu
harus dibarengi target yang jelas. Artinya, tidak cukup kita hanya menjadi
penyembuh (healer), tapi harus juga bertindak sebagai jagoan (warrior).
Yang kedua adalah menentukan jenis
keahlian atau ilmu tertentu. Simpel, misalnya jika kita stress karena kurang
mampu berkomunikasi, ya harus mendalami ilmu komunikasi. Stress karena beban
pekerjaan, ya harus belajar time managament. Dan seterusnya. Intinya, perlu ada
audit apa penyebabnya, bukan hanya merasakannya.
Terakhir, agar kapitalisasinya
sempurna, energi dan keahlian itu perlu ditumpahkan ke dalam produksi atau
kreasi, baik yang visibel atau yang invisibel. Misalnya, membuat kita semakin
lihai berkomunikasi dengan siapapun, menemukan produk kreatif tertentu, atau
yang lain. Semua orang tahu ini tidak mudah, tapi inilah jalannya.
Intinya, proses penanganan stress yang
kita jalani seharusnya dapat menghantarkan kita mendapatkan KOMPETENSI BARU,
bukan sematara KONTEMPLASI BARU. Urusan kontemplasi (renungan), memang bangsa
kita jagonya. Kalau tidak percaya, cek sekali lagi WA dan FB Anda!***
0 komentar: